Cerita Senja
Kalisari,
saat ini mati lampu. Resminya mati listrik.
Rurabasa
(istilah yang salah kaprah kata orang Jawa -red) ini memang lebih enak dipakai
daripada ‘mati listrik’. Akhir-akhir ini sering sekali tempat ini kebagian
jatahnya, sampai-sampai pemilik warung-warung kelontong harus kulak lilin ke Pasar
Wage dua kali seminggu. Mendadak lilin jadi top
wanted.
Lilin-lilin kembali
dibakar, padahal dia tidak bersalah, kenapa dihukum seperti itu? Panas, pasti
sangat panas. Ya tapi itulah lilin; dia diciptakan, menunggu dibakar dan
kemudian meleleh, hingga mengeras lagi, sebagian yang lain menguap mewangi
sangit. Kalau sepanjang hidupnya tidak sama persis seperti itu, apa dia mau
disebut ‘lilin’? Saya tebak, pasti dia tidak mau.
“Bakarlah
lilin di waktu yang tepat, gelap seperti ini, maka kau sudah membantu sebuah
lilin hidup dan mengakhiri hidupnya dengan normal”, kata seorang kakek kepada
cucunya dalam temaram senja yang lalu.
Senja ini, sang
kakek belum makan, terakhir makan saat siang. Lauknya ampas tahu yang digoreng
dilumuri tepung, dibentuk bulatan-bulatan kecil seukuran koin seribuan, di
Banyumas disebut ‘gorengan ranjem’. Hanya ditambah kecap sebagai pelicin dan
perasa. Mungkin senja seperti ini dia sudah cukup lapar, “Mak…! Kencot kiye lah…” 1
“Arep nyore karo apa? Soto? Bakso? Ranjem? Apa
mendoan-kupat maning?” 2 tanya sang nenek sambil bersiap keluar
rumah membeli lauk di warung sebelah.
“Laaah….mbenger kabeh!” 3 kakek
menyahut dengan nada menyebalkan. Selalu seperti itu setiap jam makan. Allah
memang Maha Adil, Dia memberikan sebuah ketunaan kepada Sang nenek sejak
beberapa tahun yang lalu, tuna
pendengaran. Orang jawa bilang ‘budheg’. Bukan tanpa manfaat, mungkin agar
nenek tidak mendengar jelas perkataan kakek yang seringkali mencibir masakan nenek
karena lidah tua dan mati rasa. Semua makanan, seenak apapun dirasa hambar. Walaupun
pada akhirnya semua yang tersaji di meja dimakan habis oleh kakek, tapi
komentar-komentar itu menjadi wajib diucapkan, selezat apapun. Ramalan saya,
ini adalah bentuk romantisme lain kepada yang terkasih ketika telah berhasil
mencapai masa kakek-nenek bersama-sama. Kalau ramalan ini benar, betapa romantis!
Senja sudah
habis, tertelan sang malam yang kian pekat. Malam selalu menelan eksotisme
senja yang memang tak berumur panjang, malang. Jingga yang menyertai senja begitu
artistik. Kuning, jingga, merah, coklat, ungu yang kemudian jadi hitam selalu
bergiliran melukiskan semburat warna dengan cara yang sama, indah yang sama dan
membuat ketakjuban yang sama setiap senja, tepat waktu.
Senja demi
senja berbaris teratur, mengantri menyerahkan diri kepada malam. Ratusan senja
tertelan pekat, hingga senja ini ketika Kalisari mati listrik lagi. Kini nenek yang
duduk dengan cucunya. Menonton lilin meleleh. Sesekali terdengar bunyi nyamuk
terbakar api lilin, menambah bau sangit.
“Sel, mbah kangen karo rewele mbah kakung”4,
nenek berkata lirih, nadanya datar, pandangannya tetap tertuju pada lilin di
depan kami. “Iya mbah…”, aku menjaawab sekenanya. Seketika haru
yang luar biasa menyergap. Ah, mbah kakung yang rewel, kami kangen.
Selia Stefi Yuliasari
Mulai ditulis senja bersama mbah kakung dan mbah putri,
diselesaikan pagi hari, sendirian. Mbah putri sibuk memasak di dapur.
1. Mak, lapar ini…
2. Mau makan sore pakai apa? Soto? Bakso? Ranjem? Atau
mendoan-ketupat lagi?
3. Laaah…bosen semua!
4. Sel, mbah kangen sama rewelnya mbah kakung
Selia stefi Yuliasari copyright© 2012
3 komentar:
aku tunggu novelmu sel!
ini pasti Dani. hahaha boro-boro novel dan, nulis aja nunggu libur panjang. tapi ya...ditunggu saja, semoga besok-besok kamu bisa lama-lama baca novelku kaya kamu kecanduan baca dewi lestari wakakakak
Wah kalisari versimu unik jga..
Bagai mana versi anak" yg laen yach..??
Smga ja bloger dari kalisari makin beragam dari banyak kalangan..tanpa terkecuali..
Posting Komentar