20.2.12

Cerita Senja


Cerita Senja

Kalisari, saat ini mati lampu. Resminya mati listrik.
Rurabasa (istilah yang salah kaprah kata orang Jawa -red) ini memang lebih enak dipakai daripada ‘mati listrik’. Akhir-akhir ini sering sekali tempat ini kebagian jatahnya, sampai-sampai pemilik warung-warung kelontong harus kulak lilin ke Pasar Wage dua kali seminggu. Mendadak lilin jadi top wanted.
Lilin-lilin kembali dibakar, padahal dia tidak bersalah, kenapa dihukum seperti itu? Panas, pasti sangat panas. Ya tapi itulah lilin; dia diciptakan, menunggu dibakar dan kemudian meleleh, hingga mengeras lagi, sebagian yang lain menguap mewangi sangit. Kalau sepanjang hidupnya tidak sama persis seperti itu, apa dia mau disebut ‘lilin’? Saya tebak, pasti dia tidak mau.
“Bakarlah lilin di waktu yang tepat, gelap seperti ini, maka kau sudah membantu sebuah lilin hidup dan mengakhiri hidupnya dengan normal”, kata seorang kakek kepada cucunya dalam temaram senja yang lalu.
Senja ini, sang kakek belum makan, terakhir makan saat siang. Lauknya ampas tahu yang digoreng dilumuri tepung, dibentuk bulatan-bulatan kecil seukuran koin seribuan, di Banyumas disebut ‘gorengan ranjem’. Hanya ditambah kecap sebagai pelicin dan perasa. Mungkin senja seperti ini dia sudah cukup lapar, “Mak…! Kencot kiye lah…” 1
“Arep nyore karo apa? Soto? Bakso? Ranjem? Apa mendoan-kupat maning?” 2 tanya sang nenek sambil bersiap keluar rumah membeli lauk di warung sebelah.
“Laaah….mbenger kabeh!” 3 kakek menyahut dengan nada menyebalkan. Selalu seperti itu setiap jam makan. Allah memang Maha Adil, Dia memberikan sebuah ketunaan kepada Sang nenek sejak beberapa tahun  yang lalu, tuna pendengaran. Orang jawa bilang ‘budheg’. Bukan tanpa manfaat, mungkin agar nenek tidak mendengar jelas perkataan kakek yang seringkali mencibir masakan nenek karena lidah tua dan mati rasa. Semua makanan, seenak apapun dirasa hambar. Walaupun pada akhirnya semua yang tersaji di meja dimakan habis oleh kakek, tapi komentar-komentar itu menjadi wajib diucapkan, selezat apapun. Ramalan saya, ini adalah bentuk romantisme lain kepada yang terkasih ketika telah berhasil mencapai masa kakek-nenek bersama-sama. Kalau ramalan ini benar, betapa romantis!
Senja sudah habis, tertelan sang malam yang kian pekat. Malam selalu menelan eksotisme senja yang memang tak berumur panjang, malang. Jingga yang menyertai senja begitu artistik. Kuning, jingga, merah, coklat, ungu yang kemudian jadi hitam selalu bergiliran melukiskan semburat warna dengan cara yang sama, indah yang sama dan membuat ketakjuban yang sama setiap senja, tepat waktu.
Senja demi senja berbaris teratur, mengantri menyerahkan diri kepada malam. Ratusan senja tertelan pekat, hingga senja ini ketika Kalisari mati listrik lagi. Kini nenek yang duduk dengan cucunya. Menonton lilin meleleh. Sesekali terdengar bunyi nyamuk terbakar api lilin, menambah bau sangit.
“Sel, mbah kangen karo rewele mbah kakung”4, nenek berkata lirih, nadanya datar, pandangannya tetap tertuju pada lilin di depan kami. “Iya mbah…”,  aku menjaawab sekenanya. Seketika haru yang luar biasa menyergap. Ah, mbah kakung yang rewel, kami kangen.

Selia Stefi Yuliasari
Mulai ditulis senja bersama mbah kakung dan mbah putri, diselesaikan pagi hari, sendirian. Mbah putri sibuk memasak di dapur.


1. Mak, lapar ini…
2. Mau makan sore pakai apa? Soto? Bakso? Ranjem? Atau mendoan-ketupat lagi?
3. Laaah…bosen semua!
4. Sel, mbah kangen sama rewelnya mbah kakung






Selia stefi Yuliasari copyright© 2012

3 komentar:

DI mengatakan...

aku tunggu novelmu sel!

Selia Stefi Yuliasari mengatakan...

ini pasti Dani. hahaha boro-boro novel dan, nulis aja nunggu libur panjang. tapi ya...ditunggu saja, semoga besok-besok kamu bisa lama-lama baca novelku kaya kamu kecanduan baca dewi lestari wakakakak

Trahtagaruda mengatakan...

Wah kalisari versimu unik jga..
Bagai mana versi anak" yg laen yach..??
Smga ja bloger dari kalisari makin beragam dari banyak kalangan..tanpa terkecuali..