21.2.12

Februari 2012



Februari 2012 saya pulang kampung. Akhirnya, setelah berhasil menorehkan rekor sebulan lebih menahan diri di Semarang. Saya paling tidak tahan lama-lama berada di Semarang dibandingkan dengan teman-teman yang sama-sama berasal dari Purwokerto. Sampai-sampai mereka hafal dengan hobi saya, mudik dua minggu sekali. Semarang, dalam pikiran saya -sampai saat ini- adalah kota yang panas, gersang, sering kebanjiran karena sanitasi buruk. Perencanaan kota tersebut saya rasa terlalu semrawut, tumpang-tindih. Sistem transportasi, baik jalan maupun kendaraan umumnya mayoritas sudah tidak dalam keadaan baik. Cukup…cukup, saya belum terlalu banyak tahu tentang perencanaan kota, komentar ngawur tentang Semarang saya  cukupkan. Besok-besok akan saya sambung lagi, semoga beserta solusi-solusinya. Namun bagaimana pun, kami –Semarang dan saya kini mulai akrab. Berita bagus.
Hari pertama saya di Februari 2012, bangun siang di rumah tercinta, Kalisari. Kalisari, sungguh kampung halaman yang tiada duanya, bagi saya tentunya. Dan bangun siang, merupakan salah satu khas mudik saya. Bangun siang dan tidur Subuh, betapa tidak sehatnya sebenarnya, tapi nikmat. Saya bisa menonton film box office di TV yang memang seringkali tengah malam maupun membaca buku-buku yang selama tiga bulan belakangan saya telantarkan karena tugas kuliah yang tidak manusiawi. Selain tidak manusiawi, mereka juga yang menjadikan saya nocturnal. Selama tiga bulan masa kuliah, saya terbiasa mengerjakan tugas-tugas kuliah yang luar biasa jumlahnya sampai pagi. Kadang dengan mata perih karena baru tidur satu-dua jam, saya paksa tubuh ini berangkat ke kampus. Dan itu tidak saya lakukan sendirian, tapi rata-rata mahasiswa arsitektur di tempat saya memang seperti itu. Hanya mahasiswa-mahasiswa dengan menejemen waktu super yang tidak sampai begadang dalam mengerjakan tugas. Dan itu sungguh menjadi cita-cita saya. Ah betapa damainya hidup bila bisa menjadi manusia dengan pola tidur normal. Akan saya coba, semester empat ini. Mohon doanya.
Rutinitas saya ketika libur ‘setengah’ panjang kali ini seperti ini kira-kira: tidur Subuh, bangun sekitar jam 12 siang, mengunjungi rumah teman-teman SD, bermain internet, sosial media, badminton, membaca buku, menonton film dan menulis. Beberapa kali pergi ke Purwokerto untuk bermain dengan teman-teman SMA.
Teman-teman semasa sekolah, baik itu SD, SMP maupun SMA, selalu mempunyai ruangan masing-masing di hati saya. Ruang yang mereka diami tidak pernah bertambah sempit, malah semakin apik, teratur, dan pada akhirnya akan menjadi sakral.
Teman-teman SD Negeri Kalisari, yang selalu saya rindukan di mana pun kalian sekarang, kalian lah yang paling nempel di hati saya, kalian orang-orang pemilik memori paling banyak di otak saya. Seumur hidup saya, teman-teman yang paling saya kenal tidak lain mereka: Lily, Gesit, Nur Khusnul, Nurviyanti, Novi, Ari, Deni, Kesti, Kukuh, Erdi, Eris, Dani, Singgih, Ardina, Fian dan mereka yang lain yang sungguh sangat saya sayangi. Mereka manusia-manusia pertama yang mengenalkan saya dengan persahabatan, keceriaan, setia kawan, persaingan rebutan ranking kelas, rebutan jajanan di tempat bakul-bakul SD hingga rebutan bangku tempat kami nongkrong di depan kelas. Ah mengenang masa-masa SD selalu membuat saya ingin menyusut lagi menjadi kecil dan mengenakan rok rimpel merah hati dengan rambut se-bokong dikepang dua. Kangennya menyiksa sekaligus membahagiakan. Sampai sekarang kami masih sering berkumpul apabila sedang sama-sama pulang kampung dari merantau kuliah maupun kerja di kota-kota besar yang semasa SD kami anggap sangat lah jauh. Saya di Undip Semarang, Gesit di Kebidanan Magelang, Kukuh di UTY Jogjakarta, Dani di UI Jakarta, Eris, Deni dan Ardina di UNES Semarang, dan masih banyak lagi mereka yang merantau jauh dari Kalisari. Saya yakin masa depan kita cerah, Teman-teman. Saya bersyukur mempunyai teman-teman SD yang mempunyai semangat menuntut ilmu yang luar biasa tinggi sebagai jebolan SD kampung, SD Negeri Kalisari. Tidak banyak yang menyangka kami-kami ini akan bisa merantau kuliah sampai meninggalkan Kalisari begitu jauhnya, kami angkatan yang paling banyak meneruskan ke perguruan tinggi, kami pula yang sampai saat ini masih bergerombol bermain ramai-ramai. Libur lebaran kemarin kami sempat mengadakan reuni, hampir semua hadir, dan bisa ditebak suasananya sangat nostalgic! Kami seperti tidak ingin melewatkan kesempatan berkumpul bersama setiap pulang kampung, bermain UNO menjadi hal yang  teramat istimewa sekarang ini, ketika kami jauh. Main UNO, semacam ritual yang harus dijalani ketika salah satu dari kami pulang kampung. Lily yang tinggal di Kalisari selalu setia menjamu siapa pun yang memaksa main UNO, mumpung sedang mudik. Kami positif keranjingan UNO. Selain UNO, kami sering menonton film ramai-ramai atau sekadar ngobrol ngalor-ngidul berjam-jam sampai berbusa. Kalian akan selalu jadi orang-orang yang nempel di hati saya,  makin hari makin kuat.
Selain sibuk bermain UNO, liburan ini saya juga sempat mengadakan bakti sosial dengan teman-teman SMA saya. Tanggal 10 Februari 2012 di sebuah panti asuhan di Kaliori, seperti tahun-tahun sebelumnya, alumni smansa angkatan saya (2010) rutin mengadakan bakti sosial. Kemana pun, dimana pun, kapan pun, yang penting bakti sosial tiap liburan, itu prinsip kami, haha. Alhamdulillah saya bisa bertemu, berteman dan bersahabat dengan pribadi-pribadi hebat seperti kalian!
Oh iya, ada satu kegiatan lagi yang baru dan berbeda selama liburan saya kali ini, saya jadi guru! Hahaha jangan kaget, karena kagetnya sudah saya serap habis. Begini ceritanya; suatu malam saya menerima sms dari salah satu tetangga sekaligus kakak kelas SMA saya, Mas Indra. Dia butuh bantuan saat itu. Kontan saya menawarkan diri untuk membantu. Tapi di luar dugaan, ternyata saya dimintai untuk mengajar SMA paket C. Paket C, sekolah setara SMA untuk mereka yang kurang mampu. Saya diminta untuk mengajar matematika kelas X, XI, XII. Langsung saya tolak mentah-mentah. Matematika, uh…catatan matematika SMA saya kelam. Haha. Saya tawarkan diri untuk mengajar fisika atau kimia. Ternyata sudah ada pengajar untuk fisika, kimia kosong. Baiklah, saya sanggupi mengajar kimia walaupun sebenarnya agak ragu. Bismillah.
Hari pertama mengajar Selasa, 14 Februari 2012, malam hari pukul 20.00 WIB. Saya sudah sinau kimia jauh-jauh hari, maklum dengan kimia saya yang masih cetek, saya takut nervous, jadi saya putuskan untuk belajar banyak sebelumnya. Lucunya, Senin malam 13 Februari saya sudah berdandan rapi bersiap berangkat, ya, salah jadwal! Haha untungnya sebelum berangkat saya sms Mas Indra dulu. Sungguh waktu itu benar-benar lupa! Murid saya kelas X ada 10 orang sebenarnya, tapi yang datang waktu itu hanya 4 orang, Nur Khusnul (ya, Nur Khusnul teman SD saya), Abdullah, Toyo dan Uul. Kesan pertama saya melihat mereka, muka-muka letih yang seharian bekerja lalu diminta datang sekolah malam-malam padahal sudah ngantuk. Mereka setengah semangat, saya semangat penuh, memuncak. Sebenarnya misi saya malam itu bukan untuk transfer ilmu kimia saya yang ecek-ecek, tapi untuk transfer semangat belajar yang saya miliki kepada mereka, walaupun secuil. Sedih saja melihat mereka yang sebenarnya mungkin bisa berprestasi lebih seandainya tidak putus sekolah, tapi karena lagi-lagi ekonomi, ekonomi dan ekonomi, mereka sekarang harus sekolah malam-malam, ditambah lagi belajar dengan guru yang tidak lulus uji kelayakan seperti saya. Tapi ya semoga bermanfaat lah. Aamiin.
Sebenarnya saya ingin bercerita secara detail apa-apa saja yang saya lakukan selama liburan, tapi takut kepanjangan, ujung-ujungnya membosankan. Mungkin lain kali kalau sempat akan saya ceritakan satu-satu. Februari yang tinggal 8 hari ini semoga lebih bermanfaat dari 21 hari Februari yang lalu. Dan setelah itu, Maret. Menyambut Maret, menyambut semester empat. Berjuang!






Selia Stefi Yuliasari copyright© 2012

Januari 2012



Ah lama sekali rasanya saya tidak menulis… Lamanya seperti menumbuhkan mood saya lagi untuk belajar mensketsa. Moody.
Dini hari ini 20 Februari 2012, tiba-tiba ada keinginan untuk menulis lagi, menuliskan apa yang selama ini saya alami. Masa muda. Saya selalu berusaha menuliskan semuanya, karena sadar esok ketika tua renta saya akan tidak lagi kuasa berucap, bercerita. Tulisan saya ini, semoga bisa mewakili segala apa yang ingin terucap pada anak-cucu dan dunia mereka kelak.

Baiklah, tahun 2012. Banyak yang terjadi. Banyak kemajuan, tanggung jawab dan pengalaman baru saya kantongi, kantong saya makin terisi penuh, kali ini bukan recehan, ada beberapa lembaran.
Januari pertengahan 2012, saya mengikuti seleksi BEM FT KM Undip 2012-2013. Iseng, coba-coba berhadiah. Saya memutuskan untuk mencoba seleksi karena sudah kangen dengan dunia organisasi. Semasa SMA saya bukan main gilanya dengan organisasi, karena nyatanya mereka nyaris membuat saya gila. Pengalaman organisasi Paskibra, ROHIS dan OSIS SMA N 1 Purwokerto menjadi bekal saya untuk nekat melamar sebagai staf Departemen Sosial di BEM FT. Nekat saya bilang, karena pada dasarnya saya tidak tahu-sama sekali- apapun tentang BEM FT. Saya akui, tahun pertama kuliah di Teknik Arsitektur Undip merupakan tahun-tahun pergolakan batin antara college oriented atau SNMPTN-otiented. Dan saya memilih apatis dengan kampus, menggauli lagi buku-buku SNMPTN. Haha lucu memang, saya yang mahasiswa masih mikir SNMPTN. Ya, tahun pertama kuliah, saya masih ingin mengejar kampus impian di Bandung. Hasilnya, tidak berhasil. Tunggu, ada hasilnya, saya berhasil berdamai dengan batin saya bahwa yang selama ini sangat saya inginkan suatu ketika tidak harus menjadi yang saya miliki. Sempat saya tidak terima pada Tuhan, pikiran saya saat itu kalut, saya anggap saya sudah berusaha lebih keras dan berdoa lebih sungguh-sungguh. Saya pikir, “kurang apalagi, Tuhan?” sungguh saat itu saya begitu menantang, Astaghfirullah… tapi entah kenapa waktu itu tidak ada tangisan kecewa yang teramat seperti tahun sebelumnya, lalu karena ketegaran yang tidak didari itu, saya kemudian sadar bahwa saat itu saya sudah lebih ikhlas. Berdamailah akhirnya saya dengan impian itu, untuk sementara waktu. Mungkin ada kesempatan lain atau perwujudan lain dari impian saya? Let’s see then… :)
Seleksi BEM FT KM Undip saat itu berlangsung tanpa hambatan. Berkas saya masukan, keesokan harinya masuk tahap wawancara. Wawancara berlangsung santai, saya percaya diri saja, toh saya punya bekal banyak. Waktu itu sempat berdebat dengan Kadiv.Pengabdian masyarakat yang mewawancarai saya. Masalah sepele, tapi malah jadi lucu setelah diingat-ingat selepas wawancara. Pengumuman keluar, saya masuk dalam Departemen Sosial BEM FT KM Undip periode 2012-2013. Mengapa departemen sosial? Karena saya rasa departemen tersebut mempunyai visi yang paling konkret. Konkret di sini yang saya maksud adalah mempunyai misi, gerakan dan pengaruh langsung terhadap kesejahteraan masyarakat luas maupun mahasiswa sendiri. Di dunia organisasi SMA saya  bosan berjibaku dengan kaderisasi, mengompakkan anggota dan urusan-urusan internal organisasi lainnya. Kali ini, sebagai seorang mahasiswa, saya ingin melakukan tindak nyata yang bermanfaat untuk masyarakat, bukan melulu mengurus organisasi. Itulah mengapa saya memilih departemen sosial. Semoga setahun ke depan, saya bisa mengemban amanah ini dengan baik.




Selia Stefi Yuliasari copyright© 2012

ANALISIS PENERIMA BEASISWA


ANALISIS PENERIMA BEASISWA

Oleh: Selia Stefi Yuliasari
Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Dibuat sebagai syarat penerimaan seleksi BEM FT KM UNDIP 2012


Masyarakat semakin menyadari bahwa peran beasiswa sebagai alat pemacu dan pembantu prestasi siswa secara finansial merupakan suatu cara yang efektif. Cara ini cukup ampuh dalam peningkatkan pendidikan di Indonesia, karena beasiswa dapat membantu mereka yang berprestasi namun tidak mempunyai biaya dalam meneruskan pendidikan. Beasiswa juga dapat menjadi alat apresiasi bagi mereka yang berprestasi untuk semakin meningkatkan prestasi terlepas dari mampu atau tidaknya mereka dalam finansial.
Sasaran penerima beasiswa dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok; mereka yang berprestasi namun kurang mampu, mereka yang berprestasi dan pantas mendapat apresiasi meskipun terhitung mampu dalam ekonomi, dan mereka yang benar-benar kurang mampu meskipun mereka kurang berprestasi.
Bagi penerima beasiswa yang berprestasi dan kurang mampu, beasiswa niscaya menjadi sangat berarti bagi keberlangsungan pendidikannya. Hanya dengan beasiswa lah mereka bisa terus menuntut ilmu, sehingga bagi mereka beasiswa merupakan harga mati dan pelecut semangat mereka untuk terus belajar. Bagi mereka yang karena prestasinya mereka mendapatkan beasiswa, beasiswa menjadi semacam apresiasi atas prestasinya dan hal ini akan menjadi semacam motivasi untuk semakin meningkatkan prestasi. Sedangakan bagi mereka yang kurang mampu tapi kurang berprestasi, beasiswa adalah suatu alat untuk memotivasi bahkan memaksa mereka untuk berubah lebih baik, menjadi pribadi yang berprestasi, karena tanpa prestasi maka mereka terancam putus sekolah.
Berbicara tentang beasiswa seperti apa yang sebaiknya diberikan pada masing-masing kelompok penerima beasiswa, dapat kembali dikelompokkan ke dalam 2 kelompok, yaitu beasiswa penuh dan beasiswa sebagian. Beasiswa penuh bisa diartikan beasiswa untuk biaya pendidikan sekaligus biaya hidup selama pelajar itu menuntut ilmu di suatu sekolah atau universitas. Beasiswa ini hendaknya diberikan untuk kelompok yang kurang mampu dan berprestasi maupun kurang berprestasi. Mengingat beasiswa adalah harga mati bagi mereka, maka total pantas diberikan demi pendidikan mereka yang lebih baik. Sedangkan beasiswa sebagian hanya merupakan biaya pendidikan bagi penerima. Beasiswa ini hendaknya diperuntukkan kepada siswa yang berprestasi tapi mampu secara finansial, karena secara logika penerima dianggap mampu membiayai kehidupannya sendiri tanpa perlu mendapat bantuan dari pihak lain.
Masuk ke dalam permasalahan beasiswa itu sendiri, kebanyakan dari pengadaan beasiswa baik itu dari pemerintah maupun swasta yang diperuntukkan kepada siswa sekolah maupun mahasiswa saya nilai kerap kurang efektif dan merata, bahkan sering salah sasaran. Mereka yang kurang mampu masih banyak yang belum berhasil menerima beasiswa. Ada beberapa dari mereka yang mampu malah berhasil mendapat beasiswa dengan gampangnya. Hal ini benar-benar harus segera diluruskan dan dibereskan mengingat pentingnya ketepatan sasaran beasiswa demi pendidikan yang lebih baik.
Hal-hal yang mungkin mempengaruhi ketidakefektifan pengadaan beasiswa antara lain adalah; dari pihak donatur (pemberi beasiswa) maupun institusi distributornya yang kurang melakukan sosialisasi sehingga beasiswa tersebut tidak diketahui luas oleh para pelajar kita, atau bisa jadi proses seleksi penerima beasiswa yang berjalan kurang baik dan transparan sehingga beasiswa yang diberikan tidak tepat sasaran, maupun dari faktor para pelajar sendiri yang kurang aktif mencari info seputar beasiswa sehingga menyebabkan kurang meratanya suatu beasiswa.
Semoga donatur, institusi-institusi pendidikan maupun pelajar kita bisa lebih bekerja sama dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan di atas sehingga tujuan beasiswa yang mulia dapat terlaksana, untuk pendidikan yang lebih baik.




Selia stefi Yuliasari copyright© 2012

20.2.12

Cerita Senja


Cerita Senja

Kalisari, saat ini mati lampu. Resminya mati listrik.
Rurabasa (istilah yang salah kaprah kata orang Jawa -red) ini memang lebih enak dipakai daripada ‘mati listrik’. Akhir-akhir ini sering sekali tempat ini kebagian jatahnya, sampai-sampai pemilik warung-warung kelontong harus kulak lilin ke Pasar Wage dua kali seminggu. Mendadak lilin jadi top wanted.
Lilin-lilin kembali dibakar, padahal dia tidak bersalah, kenapa dihukum seperti itu? Panas, pasti sangat panas. Ya tapi itulah lilin; dia diciptakan, menunggu dibakar dan kemudian meleleh, hingga mengeras lagi, sebagian yang lain menguap mewangi sangit. Kalau sepanjang hidupnya tidak sama persis seperti itu, apa dia mau disebut ‘lilin’? Saya tebak, pasti dia tidak mau.
“Bakarlah lilin di waktu yang tepat, gelap seperti ini, maka kau sudah membantu sebuah lilin hidup dan mengakhiri hidupnya dengan normal”, kata seorang kakek kepada cucunya dalam temaram senja yang lalu.
Senja ini, sang kakek belum makan, terakhir makan saat siang. Lauknya ampas tahu yang digoreng dilumuri tepung, dibentuk bulatan-bulatan kecil seukuran koin seribuan, di Banyumas disebut ‘gorengan ranjem’. Hanya ditambah kecap sebagai pelicin dan perasa. Mungkin senja seperti ini dia sudah cukup lapar, “Mak…! Kencot kiye lah…” 1
“Arep nyore karo apa? Soto? Bakso? Ranjem? Apa mendoan-kupat maning?” 2 tanya sang nenek sambil bersiap keluar rumah membeli lauk di warung sebelah.
“Laaah….mbenger kabeh!” 3 kakek menyahut dengan nada menyebalkan. Selalu seperti itu setiap jam makan. Allah memang Maha Adil, Dia memberikan sebuah ketunaan kepada Sang nenek sejak beberapa tahun  yang lalu, tuna pendengaran. Orang jawa bilang ‘budheg’. Bukan tanpa manfaat, mungkin agar nenek tidak mendengar jelas perkataan kakek yang seringkali mencibir masakan nenek karena lidah tua dan mati rasa. Semua makanan, seenak apapun dirasa hambar. Walaupun pada akhirnya semua yang tersaji di meja dimakan habis oleh kakek, tapi komentar-komentar itu menjadi wajib diucapkan, selezat apapun. Ramalan saya, ini adalah bentuk romantisme lain kepada yang terkasih ketika telah berhasil mencapai masa kakek-nenek bersama-sama. Kalau ramalan ini benar, betapa romantis!
Senja sudah habis, tertelan sang malam yang kian pekat. Malam selalu menelan eksotisme senja yang memang tak berumur panjang, malang. Jingga yang menyertai senja begitu artistik. Kuning, jingga, merah, coklat, ungu yang kemudian jadi hitam selalu bergiliran melukiskan semburat warna dengan cara yang sama, indah yang sama dan membuat ketakjuban yang sama setiap senja, tepat waktu.
Senja demi senja berbaris teratur, mengantri menyerahkan diri kepada malam. Ratusan senja tertelan pekat, hingga senja ini ketika Kalisari mati listrik lagi. Kini nenek yang duduk dengan cucunya. Menonton lilin meleleh. Sesekali terdengar bunyi nyamuk terbakar api lilin, menambah bau sangit.
“Sel, mbah kangen karo rewele mbah kakung”4, nenek berkata lirih, nadanya datar, pandangannya tetap tertuju pada lilin di depan kami. “Iya mbah…”,  aku menjaawab sekenanya. Seketika haru yang luar biasa menyergap. Ah, mbah kakung yang rewel, kami kangen.

Selia Stefi Yuliasari
Mulai ditulis senja bersama mbah kakung dan mbah putri, diselesaikan pagi hari, sendirian. Mbah putri sibuk memasak di dapur.


1. Mak, lapar ini…
2. Mau makan sore pakai apa? Soto? Bakso? Ranjem? Atau mendoan-ketupat lagi?
3. Laaah…bosen semua!
4. Sel, mbah kangen sama rewelnya mbah kakung






Selia stefi Yuliasari copyright© 2012